Halaman

Jumat, 05 November 2010

Belajar keteguhan tekad dari Joe Jennette


3 November 2010
Oleh: Robi Rizkianto

Seorang petinju bertarung tidak hanya sekedar hobi. Kegiatan yang hanya menjadi rutinitas pemuas hobinya semata. Bahkan pertarungan di ring tinju bukanlah ajang mencari materi. Mereka bertarung justru untuk mendapatkan eksistensi dirinya di tengah-tengah masyarakat yang terkadang mengernyitkan dahinya karena status yang melekat padanya. Berdasar piramida kebutuhan maslow, kebutuhan eksistensi merupakan tahap kebutuhan tertinggi dimana setelah terpenuhinya kebutuhan fisik, aman, sosial, dan kebutuhan ego.

Pada tahun 1880, seorang petinju bernama Joe Jennette dari golongan kulit hitam di daerah barat terlahir. Jennette memiliki bakat dan tekad yang sangat tinggi menjadi petinju. Pada usianya yang telah beranjak dewasa, Jennette telah memasuki dunia tinju melawan berbagai petinju dari golongan kulit putih. Jennette hanya tertarik bertarung tinju hanya dengan petinju dari golongan kulit putih. Sebenarnya, Jennette bersikap demikian karena bertujuan untuk mengangkat golongan ras kulit hitam. Berbagai jagoan dari golongan kulit putih bertarung dan ternyata semuanya berhasil dikalahkan oleh Jennette. Nama Jennette pun akhirnya bergema di seantero jagat dunia pertinjuan dan berhasil mengubah pola pandang golongan kulit putih yang sering kali mengklaim bahwa golongan kulit hitam adalah golongan orang-orang tidak berdaya.

Setelah mendapatkan kebutuhan eksistensinya di hadapan golongan kulit putih, Jennette mengambil keputusan untuk bertarung dengan petinju terkenal dari kulit hitam juga yang bernama mc fey. Pada pertandingan yang tidak mengenal ronde tersebut, seseorang baru dinyatakan sebagai pemenang apabila salah seorang telah benar-benar menyatakan menyerah. Pada awal-awal ronde, mc fey berhasil memukul berkali-kali Jennette hingga darah dari mulutnya keluar. Badannya sudah berkali-kali tersungkur tidak berdaya. Namun, Jennette terus berusaha bangkit seakan-akan menyatakan, “Di atas ring inilah area kehidupanku sesungguhnya. Aku memahami hidup di atas ring, kehormatanku pun terlahir dan akan berahir disini”.

Keadaan berbalik pada ronde ke-21 ketika Jennette mampu menyusun kembali kekuatan yang telah hancur. Dengan badan Jennette yang lemas, tampak tatapan matanya dipenuhi keyakinan akan kemenangannya kelak. Jennette telah merekam seluruh teknik tinju mc fey, kemudian mencari celah teknik tinju mc fey. Seperti inilah sikap optimis yang digambarkan oleh Toto Tasmara (2006), “ Orang optimis melihat kesempatan diantara begitu banyak kesempitan. Orang pesimis melihat begitu banyak kesempitan diantara banyak kesempatan”. Mc fey dibuat lemah dengan kekuatan Jennette. Kondisinya sekarang, mc fey mulai mengeluarkan darah dari mulutnya dan badannya pun terjatuh berkali-kali. Hingga pada ronde ke-50, akhirnya mc fey dengan badan yang tampak lemah mengatakan, “saya sudah tidak bisa, saya sudah tidak bisa”. Jennette pun tampil sebagai pemenang dan mendapat penghormatan yang tinggi karena telah berhasil mengalahkan mc fey sebagai petinju nomor satu di kala itu.

Jennette mengakhiri karirnya dengan menikah. Jennette memilih istri dari golongan kulit putih. Ini adalah piala kehormatan tertinggi yang didapatkan Jennette. Dengan pernikahan antara golongan kulit putih dan hitam ini, diharapkan adanya kesetaran status dan hilangnya pola pandang negatif pada golongan kulit hitam.

(Sumbernya dari tayangan televisi)

Daftar pustaka:
Tasmara toto. 2006. Spiritual Centered Leadership. Gema Insani: Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar