Halaman

Jumat, 28 Oktober 2016

Anak Belajar Versus Kebiasaan Orangtua


Oleh: Robi Rizkianto, 3 Juli 2016, Cilacap

Anak akan biasanya bersikap tidak jauh dari sikap orangtuanya. Perlu orangtua menjadi teladan yang baik. Saat anak pertama muncul dalam keluarga, maka mulailah orangtua membangun kebiasaan positif. Contoh hal yang paling kecil, momen memandikan anak. Kita memandikan anak dua kali sehari, sedangkan kita mandi setiap hari hanya sekali. Atau anak disuruh mandi cepat sedangkan orangtua santai-santai. Padahal saat usia anak-anak, mereka lebih mengingat dan memperhatikan kelakuan orang sekelilingnya daripada perkataan. Anak lebih memperhatikan action (teladan) dibandingkan sekedar perkataan yang tanpa contoh nyata. Jika ini terus dibiarkan maka akan berpengaruh negatif ke anak. Mengapa??! Sikap tidak konsisten orangtua hanya akan menjadikan anak bingung arah. Anak akan minder karena ada dua hal berbeda dihadapannya. Orangtuanya menyuruh tapi orangtua sendiri tidak melakukannya.

Mental terbentuk dari tumpukan kebiasaan-kebiasaan kecil di tiap harinya. Contoh mandi di atas memang terkesan sepele, tapi sikap tidak konsisten orangtua akan menular ke perkara lainnya. Bisa saja kita akan jumpai juga, anak dilarang menonton televisi sedangkan orangtuanya boleh menonton. Bisa juga kita mendapatkan orangtua yang menyuruh anak disiplin sedangkan orangtua mengantar anaknya ke sekolah sering terlambat. Tidak konsisten itu semua dampaknya ke karakter anak.


Didiklah anak kita dengan keteladanan, buka sekedar perkataan. Saat orangtua mendidik dengan keteladanan maka anak  akan mudah mengingatnya. Melalui keteladanan, anak akan melakukan gaya pembelajaran visual. Anak melihat langsung bagaimana harusnya bersikap. Anak melakukan gaya pembelajaran auditori (mendengar), saat orangtua memberi nasehat. Kemudian anak juga melakukan gaya pembelajran kinestetik (gerak tubuh), saat orangtuanya mengajaknya bermain. Sebaliknya, orangtua yang sekedar memberi nasehat tanpa keteladanan maka anak hanya melakukan gaya pembelajaran auditori. Keteladanan menjadi kunci pembuka karakter positif anak.

Kepemimpinan Suami yang Pincang



Oleh: Robi Rizkianto
Purwokerto, 19 Oktober 2016

Sudah menjadi sunnatullah bahwa keluarga  pasti memiliki pemimpin. Bentuk keluarga tergantung dari pemimpinnya. Manakala pemimpinnya suka menghadiri majelis ilmu, berteman dengan orang sholeh dan memiliki hobi membaca buku-buku islam, maka nuansa keluarga tentu terasa islami. Sebaliknya, pemimpin keluarga yang suka keluar rumah hingga larut malam, tidak pernah sholat, menghabiskan waktu sekedar menonton televisi, hingga kadang melakukan perbuatan curang dan bertengkar denga isteri, maka bisa dimungkinkan nuansa keluarga tersebut terasa tidak tentram.

Pemimpin keluarga itu bernama suami. Seluruh kondisi keluarga diputuskan oleh suami. Tidak boleh ada keputusan yang ada di keluarga tanpa sepengatahuan suami. Manakala ada diskusi dan berbeda pendapat antara suami, istri dan anak-anaknya, maka selayaknya pendapat suami yang diambil dan dilakukan penuh tanggung jawab.

Saat ini, kita menjumpai kepemimpinan suami tidak memiliki pengaruh yang kuat di keluarga. Perkataan suami tidak mudah diterima oleh anak dan istrinya. Kepemimpinannya menjadi pincang. Penyebab pertamanya, suami tinggal di rumah mertua. Sehingga suami tidak bisa bebas berkata dan bersikap. Saat suami menghilangkan penat saja, suami masih saja akan canggung. Adapun penyebab keduanya, suami tidak bekerja sedangkan isterinya bekerja. Suami tidak mampu memberi nafkah. Justru isterinya yang memberi nafkah untuk keluarga.


Surganya isteri ada di suaminya. Saat isteri telah menikah, saat itu pula seluruh tanggung jawab orangtua beralih ke suami. Kebutuhan sehari-hari sudah menjadi tanggung-jawab suaminya. Kebahagian isteri sudah menjadi kewajiban suaminya juga. Sungguh bukan perkara yang mudah. Maka selayaknya isteri menghormati suami seperti menghormati orangtuanya. Isteri juga berupaya untuk menjaga pandangan suami dengan cara isteri selalu berpenampilan yang indah dihadapannya. Kemudian, berusahalah untuk membantu dan memahami suami dalam segala kondisi agar kepemimpinan suami tidak menjadi pincang.

Selasa, 24 Mei 2016

Anak (0-3 tahun) Mudah Tersedak ??!

Oleh : Robi Rizkianto
24 Mei 2016, Purwokerto

Anak usia 3 tahun, masa perkembangannya sangat pesat. Saya masih ingat di perkuliah mata kuliah perkembangan anak, usia 3 tahun masuk dalam kategori golden age. Kali ini saya ingin berbagi tentang tantangan anak usia 3 tahun. Dimana, pada usia ini anak akan merasakan kenikmatan pada oral (mulut). Segalanya akan di emut, makan, masukkan ke mulutnya. Anak akan merasa nikmat dengan benda yang ada di mulut. Sehingga anak akan membiarkan benda atau makanan itu ada di mulut mereka.

Perkembangan anak yang pusat kenikmatannya ada di oral (mulut) ini seharusnya jadi perhatian kita. Dalam buku berjudul "Pediatric First Aid and CPR" (Pertolongan Pertama), diberitahukan bahwa banyak kasus kematian pada anak usia di bawah 3 tahun karena tersedak. Entah itu tersedak karena benda bahkan bisa juga makanan. Sudah menjadi perhatian kita jika anak hendak memasukkan benda ke mulutnya maka kita seringkali menghentikannya. Namun bagaimana jika makanan yang masuk?

Makanan juga bisa menjadi faktor anak tersedak. Beberapa orang tua mungkin menggampangkan dengan memberi makan ke anak. Karena semangat dan perhatian yang besar sampai kadang ukuran makanan yang kita berikan sebenarnya terlalu besar. Ok, biar jelas kita langsung ke contoh makanan yang umumnya dimakan anak usia 0-1,2 tahun. Makanan mari yang biasanya berbentuk bulat gepeng itu, kita memberikan ke anak kadang ukurannya masih terlalu besar sehingga kadang anak tersedak. Bisa juga kita memberikan sayur yang tidak dipotong atau diserut. Sehingga anak langsung diberi sayur tersebut. Tentu itu bisa berakibat anak tersedak. Kemudian kita berpikir, anak butuh vitamin C sehingga kita memberikan buah jeruk pada anak. Ini akan jadi masalah jika cara memberinya langsung anak diberi sepotong buah jeruk dengan kulit putihnya itu, meski biji sudah diambil. Dimana masalahnya? Pada kulit jeruknya. anak yang belum tumbuh gigi graham akan kesulitan mengunyangnya. Sehingga anak bisa tersedak. Tentunya banyak lagi makanan lainnya.

Ada beberapa solusi yang ditawarkan dalam buku pencegahan pertama di atas. Baik, mari kita simak tips yang diberikan bagi anak usia di bawah 3 tahun.
1. Jauhkan semua benda kecil dari anak.
2. Ajari anak ketika masih ada makanan di mulutnya.
3. Pastikan anak duduk ketika makan. Komentar saya sih, baiknya saat minum juga. Toh, makan dan minum sambil duduk itu sunnah rosul.
4. Pecahkan makanan menjadi potongan yang kecil-kecil.

Oke teman-teman, sekian dulu. :)

Senin, 18 April 2016

Wahai Isteri.... Ikatlah Suamimu dengan Pesona Ketaatanmu

Oleh : Robi Rizkianto
19 April 2016

Penampilan bisa memudar tapi hati bisa terus merekah, semakin indah dan betah dipandang. Saat suami dan istri kita masih muda, kita sangat mencintai dan membanggakan pasangan kita di hadapan kawan maupun keluarga. Kita biasanya berbangga saat di awal pernikahan, kita bisa mendapatkan sosok pasangan suami / istri yang banyak orang mengejar-ngejarnya namun kita yang bisa mendapatkannya. Sayangnya, semua kebanggaan dan kecintaan itu hanya fisik semata. Kita bangga karena pasangan kita tampan atau cantik. 

Taukah anda teman-teman yang wanita?! Ternyata penampilan indahmu itu tidak selalu bisa membuat suamimu aman pada saat di luar. Suamimu itu akan bertemu dengan puluhan hingga ratusan wanita di luar sana. Apakah dirimu yakin bahwa kamu lebih cantik dibanding ratusan wanita itu?! Tentu saja tidak. Apakah dirimu merasa memiliki kulit yang lebih lembut dibanding wanita di luar sana?! 

Jadi apakah seorang isteri tidak perlu menjaga kecantikannya?! bukan begitu berpikirnya. Saya ingin menyadarkan anda bahwa kecantikanmu itu tidak bisa anda jadikan ikatan utama untuk suamimu. Jadikan kecantikan itu ikatan yang kedua. Ikatan yang utama anda gunakan yakni ketaatanmu padanya.
Ketaatanmu itu akan menyentuh sisi emosional, bagian Qolbu. Ikutilah perintah suami meski anda kadang merasa pendapatmu lebih benar. Biarkan suamimu berkuasa terhadap anda secara mutlak. Ingatkan suami dengan santun tanpa bentakan apalagi ejekan terhadap suami. Layani suami seperti anda tidak akan mendapatkan suami seperti dirinya di luar sana. Jadikan suamimu merasa menjadi spesial di hadapanmu. Maka sikapmu itu, pasti akan mampu mengikat erat suamimu. 

Suamimu tidak akan menemukan wanita setaat dirimu di luar sana. Apa mungkin teman wanita suamimu mau saat disuruh menjemput anak-anak?! selalu membuatkan minuman hangat di malam / pagi hari untuk suamimu, mencium tangan suamimu saat hendak berangkat ke kantor, selalu memberikan dorongan dan pandangan positif untuk menggugah sikap optimis suamimu?! Jawabannya pasti tidak. Maka lakukan ketaatanmu pada suami dengan maksimal maka ikatanmu pada suamimu itu akan semakin kuat. Anda akan selalu bersemayam di hatinya karena anda wanita yang spesial baginya, berkat ketaatanmu padanya.

Senin, 04 April 2016

Anak Main Game?! Tenang Saja...


Oleh : Robi Rizkianto
2 April 2016
“tembaakk...! bikin senjata lagi biar banyak, baru kalau siap langsung serang”, celoteh anak. Yah, itu mungkin gambaran celoteh anak saat sedang bermain game. Mereka asyik sekali kalau sudah bermain. Kadang bisa lupa belajar, bahkan sholat. Atau bisa jadi sengaja melupakannya, anak lebih memilih terusan bermain game. Eitsss... ada juga khan anak yang meski bermain game tapi tetap belajar dan bermain?!

Saya memperhatikan ada dua tipe anak bermain game. Ada yang berjam-jam. Namun, ada pula yang terkontrol, hanya seminggu dua kali selama 1 jam. Dengan adanya dua tipe anak ini, tentunya akan menghasilkan anak dengan kualitas yang berbeda pula dari segi karakter.
Kebiasaan anak akan membentuk karakter. Kebiasaan bermain game ini bukan berpengaruh kepintaran akademik. Banyak kita temukan anak yang sering bermain game setiap hari pun ternyata juga bagus akademiknya. Sehingga bukan mutlak benar jika game itu penghambat belajar anak. Misalkan saja anak tidak pernah bermain game tapi selalu nonton televisi, maka sama saja itu akan menjadi penghambat belajar anak. Apakah televisi tidak ada manfaatnya?! Ada. Sama halnya dengan bermain game pun, persoalannya bukan pada game tersebut tapi kontrol waktu.

Jika kita melihat dengan fair maka permainan game pun ada manfaatnya buat anak jika waktu bermainnya mampu dikontrol oleh orangtua. Pertama, anak bisa belajar bahasa inggris. Umumnya seluruh bahasa yang dipakai dalam game menggunakan bahasa inggris. Kedua, anak bisa belajar membuat perhitungan yang jelas. Banyak game yang trend sekarang temanya tentang pertempuran. Anak harus menyusun strategi yang jitu agar anak mampu mengalahkan lawannya. Ketiga, kemampuan otak kanan anak akan meningkat. Imajinasi anak akan semakin meningkat dengan bermain game. Kemampuan imajinasi tersebut bisa mendongkrak kemampuan anak membuat produk atau melakukan hal yang kreatif. Masih banyak lagi lainnya. Disamping itu, memang bermain game tetap memberikan dampak negatif jika lost control (tidak dikontrol) dan tanpa pendampingan orangtuanya.

“Bagaimana cara mengontrolnya?? Mendampingi gimana maksudnya?! Main game kok didampingi?”, mungkin itu yang terlintas di pikiran saat ini. Cara mengontrolnya, baiknya anak diberi jam khusus untuk bermain. Selain jam tersebut, maka anak tidak boleh bermain game, baik di rumah atau luar rumah. Setiap anak memiliki kecanduan yang berbeda-beda, maka tidak ada aturan yang terbaik. Bisa seminggu sekali dari jam sekian sampai sekian. Bisa setiap hari asalkan hanya 30 menit. Orangtua yang lebih paham cara mengontrolnya. Untuk orangtua yang ingin menghentikan kecanduan anaknya, maka sebaiknya aturannya bertahap saja. Kemudian cara mendampingi anak, pertama bisa dilakukan dengan cara orangtua memeriksa semua permainan game anak. Apakah permainan tersebut layak untuk anak-anak atau tidak. Karena permainan game ada yang mengandung pornografi. Maka orangtua harus selektif. Kedua, orangtua kadangkala bisa memberitahu anak arti bahasa inggris di permainan tersebut agar anak sekalian belajar bahasa inggris juga. Atau bisa juga orangtua memberikan syarat ke anak, misal anak boleh bermain game dengan syarat mencatat dan menghafalkan kosa kata di game tersebut. Cara ini memaksa anak untuk mencatat dan menghafalkan kosakata bahasa inggris agar bisa terus bermain.

Mari kita tenangkan diri menghadapi anak-anak kecanduan game. Lakukan kontrol dan pendampingan intensif bagi mereka. Lakukan bertahap untuk mengatasi kecanduan bermain game anak.

Rabu, 30 Maret 2016

Karakter anak Terlihat Dari Lingkungannya



 
1 April 2016
Oleh : Robi Rizkianto

Anak-anak di usia SD, berkisar 6-12 tahun, berada pada fase modelling (meniru) yang sangat tinggi. Saat anak di rumah maupun sekolah, temannya akan mempengaruhi karakter anak tersebut. Jika dirinya dekat dengan teman yang suka berbohong, maka kebohongan itu akan menular pada anak tersebut. Sebaliknya, anak yang dekat dengan teman yang suka ke masjid tepat waktu maka perilaku itu akan menular pada anak tersebut.

Anak yang berada di sekolah akan mendapatkan pengaruh yang besar dari gurunya. Anak menjadikan guru sebagai teladannya. Sikap dan tutur kata gurunya sangat mudah ditiru tanpa dipilah-pilih mana yang baik dan buruk. Jika gurunya selalu berperilaku dan berkata baik, maka itu akan menular ke anak. Kita pun tidak perlu mengkhawatirkannya. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa guru bukanlah malaikat yang tidak pernah berbuat salah. Kadang guru berbuat salah dengan cara berteriak ke anak-anak untuk mendiamkannya saat sedang ramai. Sikap itu akan ditiru anak. Mereka akan berteriak juga untuk mendiamkan kawan-kawannya yang ramai. Maka sebaiknya, guru mengarahkan anak-anak kembali bahwa teladan mereka (anak-anak) sebenarnya bukanlah guru, tapi Rosulullah. Mengapa? karena rosulullah maksum, bebas dari kesalahan.

Singkat kata, orang tua yang bertanggung jawab bagi masa depan anaknya pasti akan mencarikan lingkungan terbaik bagi anak. Orangtua memperhatikan anak dengan cara mencarikan lingkungan yang positif untuk perkembangan anak di masa depannya. Baik lingkungan sekolah maupun lingkungan pertemanan di rumah. Jika anak sudah terlanjur berada di lingkungan pertemanan yang tidak baik, maka tugas orangtua untuk menciptakan lingkungan pertemanan yang baru bagi anak, lingkungan yang positif.