Halaman

Kamis, 28 Januari 2010

Segmentasi Pendidikan

Banyak data yang telah menunjukkan dampak dari pendidikan yang masih tersegmentasi. Hal tersebut dapat diperhatikan dari para pelaku kenakalan banyak dilakukan oleh para siswa. Ada hal yang perlu dikritisi berkaitan dengan permasalahan. Akar permasalahan kasus kenakalan siswa tersebut terletak pada seperti membolos kuliah, pembunuhan hingga hubungan seksual, didasarkan pada lemahnya pemahaman karakter. Akhirnya berujung pada kesimpulan bahwa nilai-nilai karakter adalah relatif.
Berbagai kenakalan yang dilakukan oleh siswa seperti membolos kuliah, pembunuhan hingga hubungan seksual, didasarkan pada lemahnya pemahaman karakter. Ketika berbicara karakter maka kita akan mendapatkan nilai absolute dan relatif. Kedua nilai tersebut akan tampak jelas ketika alat ukur yang digunakannya juga baku dan universal, yakni agama.
Secara legislatif dalam undang-undang memang tidak tampak bentuk segmentasi pendidikan tersebut antara agama dan keilmuan lainnya. Secara kontekstual dalam UU no.20 tahun 2003 pasal 1 yang berisi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”, Kemuadia pada pasal 3 yang berisi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kemudian pada pasal 37 ayat 1 dan 2 yang telah menempatkan pendidikan agama pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi pada urutan pertama sebagai kurikulum yang wajib ada. Namun dalam tataran eksekutif, yakni pengajaran, akan terlihat benar posisi agama sebagai sumber yang absolute dan universal telah dipisahkan. Porsi yang diberikan pada pendidikan sekolah tidak seimbang dengan mata pelajarannya lainnya.
Pengajaran yang dilakukan sekolah negeri tidak menyeluruh, terutama menyentuh nilai-nilai agama dan memiliki mata pelajaran yang terlalu banyak. Mata pelajaran yang diberikan guru tersegmentasi, antar mata pelajaran tidak saling berkorelasi. Mata pelajaran yang bersifat subject matter juga makin merumitkan permasalahan karena para siswa tidak melihat keterkaitan sata mata pelajaran dengan lainnya, serta tidak relevan dengan kehidupan nyata. Hal ini didukung oleh hasil penelitian C.J. Bonk dkk. Yang dikutip oleh Toge Aprilianto (2008), bahwa sangat mungkin masalahnya adalah siswa tidak melihat adana hubungan antara pengalaman kesehariannya dengan konsep atau topic pelajaran di sekolah. Dampak dari ini, menurut R. Megawangi (2005) akan menjadikan manusia berpikir secara parsial, terkotak-kotak. Anak didik terkesan hanya akan dijadikan pemikir bukan pekerja. Padahal bila melihat pada Negara jepang, merujuk kutipan dari R. Megawangi dkk. (2005), bahwa hanya anak didik yang memiliki intelektual diatas 115 bisa menempuh pendidikan sarjana, sehingga jumlahnya berkisar 10-15% dari total siswa sekolah Negara jepang. Tujuan pendidikan akhirnya terjadi disfungsi orientasi yang awalnya membentuk individu yang beriman dan bertakwa menjadi orientasi membentuk individu yang padai secara kognitif. Banyak siswa yang dipaksa menghafal berbagai pelajaran tanpa adanya penghayatan yang dapat menumbuhkan kegairahan belajar untuk mendalami materi lebih dalam.
Berbagai kesalahan dalam pengajaran yakni hanya berpusat pada guru, bukan murid, dan komunikasi satu arah. Siswa hanya menerima materi dari guru tanpa bersikap aktif. Perilaku siswa yang membolos dari sekolah terjadi karena adanya pemisahan agama yang sebagai sumber nilai karakter dengan mata pelajaran lainnya. Sehingga nilai karakter yang seharusnya diinternalisasikan dan menjadi kebutuhan siswa menjadi tidak berhasil dengan optimal. Oleh karena itu, orang tua siswa biasanya mencari sekolah swasta. Orang tua siswa mencari pengajaran yang dinamis, tidak pengajaran seragam dan formal. Maka ini yang menjadikan kualitas pendidikan sekolah negeri yang formal terkadang dijauhi oleh para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya.